Rabu, 22 September 2010

SELAMAT DAN SUKSES
PORSENI KKMA 02
DI MLONGGO

2. The ink of the scholar is more sacred than the blood of the martyr.
- Tinta para pelajar lebih suci daripada darah orang-orang yang mati syahid.

Peran dan Paradigma Islam Dalam Perkembangan IPTEK


Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua)[1]. Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Hubungan agama dan iptek, secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Yahya Farghal, 1990: 99-119): Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
(Q.S. al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”
(QS. an-Nisaa` [4]: 126).
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq [65]: 12).

Pengetahuan Tentang Iptek



Seorang ahli dari barat menerangkan sebagai berikut:“Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam kedapatan paham tidak bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu tentang keindahan sesuatu yang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang kekuasaan Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih (memuji Tuhan) tapi bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan menolong bekerja. Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh sebab yang pertama, yaitu Allah”.
“Seorang ahli pengetahuan yang melihat setitik air, lalu dia mengetahuinya bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya idak lebih dari setitik air”.


Sudah seharusnya kita sebagai Umat Islam senantiasa men-taddaburi ayata-ayat-Nya, baik yang qouliyah maupun kauniyah. Karena di sana terdapat lautan ilmu-Nya,serta dorongan/ motivasi untuk mengkaji maupun mengimplementasikannya.  “Hai jama’ah jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Ar Rahman :33).  Dengan ayat ini manusia akan mengerti jika ingin menembus langit diperlukan energi yang besar.
Maka dengan segala bahan-bahan yang ada di alam ini manusia harus mampu mengkonversi energi tersebut. Masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya. Allah SWT telah menciptakan alam beserta isi dan sistemnya  dan juga telah mengajarkannya kepada manusia. Dengan mencermati Al Qur’an, akan melahirkan kajian-kajian yang lebih detail tentang keberadaan ciptaan-Nya.
Timbulnya ilmu pengetahuan, disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang berkemauan hidup bahagia. Dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya itu, manusia menggunakan akal pikirannya. Mereka menengadah ke langit, memandang alam sekitarnya dan melihat dirinya sendiri. Dalam hal ini memang telah menjadi qudrat dan iradat Nya, bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu kebutuhan hidupnya. Telah tercantum dalam Al Qur’an perintah Allah SWT : “Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (Yunus: 101).
Hasil dari pemikiran manusia itu melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai cabangnya. Maka ilmu pengetahuan bukanlah musuh atau lawan dari iman, melainkan sebagai wasailul hayah (sarana kehidupan) dan juga nantinya yang akan  membimbing ke arah iman. Sebagaimana kita ketahui, banyak ahli ilmu pengetahuan yang berpikir dalam, telah dipimpin oleh pengetahuannya kepada suatu pandangan, bahwa di balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang lebih tinggi, yang mengatur dan menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan.
Dengan memahami bahwa semua ilmu itu adalah dari Allah SWT maka dalam mendalami dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan pun (al kaun) harus mengacu firman Allah SWT sebagai referensi, sehingga akan semakin meneguhkan keimanan. Selain itu penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terkendali serta mengenal adab. Sebagai misal dalam dunia teknologi kedokteran, pengalihan sperma ke sebuah rahim seorang wanita -dalam proses bayi tabung- maka harus memperhatikan sperma itu diambil dari siapa diletakkan ke rahim siapa. Proses kesepakatan, perizinan juga harus jelas. Jangan sampai bayi lahir menjadi tidak jelas nasabnya. Di bidang astronomi tidak boleh diselewengkan untuk meramal nasib, padahal antara keduanya tak ada hubungan sama sekali. Dalam hal menikmati keindahan alam, akan menjadi suatu kedurhakaan jika dalam menikmatinya dengan membangun vila-vila untuk berbuat maksiyat. Namun seorang mu’min menjadikan alam semesta adalah untuk tafakur agar dekat dengan-Nya.
Semoga kita termasuk orang-orang yang sering sering tafakur.
Amin…..

Hubungan Antara Agama dengan IPTEK


Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
    Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak.  Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya.  Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan.  Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.  Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei.  Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan.  Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
    Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.  Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan.  Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
    Pola ke tiga adalah pola hubungan netral.  Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi.  Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.  Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler.  Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan.  Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
    Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.  Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler.  Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung  pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya.  
    Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami ajaran agama.  Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak  sebaliknya terjadi.  Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
    Pertanyaan selanjutnya adalah "pola hubungan yang manakah yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?"  Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita perlu melihat kembali GBHN sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang mereka harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
    Kalau kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan pengembangan iptek dan agama, akan kita lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral.  Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung.  Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek.  Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek.
    Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda.  Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti
    "... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II, C. 1.)

Implementasi Pendidikan Imtaq


Drs Haryono MPd
RAMADHAN baru saja usai. Adalah bulan yang di dalamnya terdapat proses pembelajaran bagi ummat Islam, untuk mencapai prestasi terbaik menurut Allah SWT, yaitu menjadi muttaqin. Melalui olah lahiriyah, manusia dididik untuk menahan dan mengendalikan sifat hayawaniyah. Pengendalian diri terhadap hal-hal duniawiyah menjadi media yang efektif untuk lebih memudahkan manusia mendekatkan diri dan cinta kepada Allah SWT.Kedekatan dan cinta manusia terhadap Allah SWT dicapai melalui pendirian salat wajib dan sunnah, berdzikir, membaca Alquran, serta amalan-amalan lain yang diridloi oleh Allah SWT menjadi modal penting untuk mencapai predikat taqwa dalam arti yang sesungguhnya.
Selain berpuasa, sarana lain untuk mencapai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT adalah dengan pendidikan. Pembentukan karakter bangsa Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan demokratis sebagaimana yang selalu dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional sudah sepatutnya selama Ramadan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.Realitas kehidupan dalam penyelenggaraan negara masih diwarnai dengan korupsi. Korupsi di negara kita bagai kentut, yaitu ada baunya tetapi sulit dibuktikan wujudnya sehingga upaya pemberantasan korupsi sebagian besar hanya jalan di tempat.
Ditinjau dari pemenuhan kebutuhan, pada umumnya para koruptor adalah orang-orang yang kebutuhan fisik baik untuk dirinya maupun keluarganya telah tercukupi. Mereka juga telah mendapatkan pengakuan terhadap kedudukan dan jabatan yang terhormat oleh orang-orang di lingkungannya. Mengapa mereka masih tidak mensyukuri nikmat Allah SWT dengan sikap yang amanah dan dapat dipercaya dalam menjalankan tugasnya? Refleksi peningkatan keimanan dan ketaqwaaan (imtaq) siswa terhadap Tuhan YME terkait dengan bidang pendidikan adalah sejauhmana ketercapaian tujuan pendidikan dalam meningkatkan imtaq terhadap Tuhan YME? Dan bagaimana implementasi pendidikan imtaq terhadap Tuhan YME dalam proses pembelajaran? Ketercapaian tujuan pendidikan dalam bidang keimanan dan ketaqwaan masih jauh dari yang diharapkan. Dalam skala mikro pada kehidupan di kelas ditunjukkan antara lain masih banyak siswa yang tidak mencintai kebersihan, karena sering kali dijumpai tempat sampah di kelas kosong namun di laci meja banyak bungkus premen dan makanan lainnya.Realitas di atas kelihatannya sepele tetapi memiliki nilai edukasi yang tinggi. Sikap menyembunyikan sesuatu yang seharusnya tidak disembunyikan merupakan perilaku awal dari koruptor dan perilaku tersebut dapat mendatangkan tikus serta binatang menjijikkan lain untuk beramai-ramai memakan barang yang disimpan itu.Perilaku lain dari sebagian besar siswa yang berpotensi membentuk sikap sebagai koruptor adalah tidak jujur dalam ulangan. Pada saat ulangan seharusnya guru/pengawas bertugas mengawasi siswa-siswanya agar hasilnya objektif dan dapat dijadikan bahan evaluasi pada proses pembelajaran selanjutnya. Hal yang seringkali terjadi adalah sebaliknya yaitu sebagian besar siswa mengawasi guru/pengawasnya, sehingga jika guru/pengawas lengah maka banyak siswa saling mencontoh jawaban dari temannya. Sikap siswa yang tidak mau belajar keras dan cenderung serba instan tersebut akan membangun generasi yang tidak tahan uji, memiliki daya saing rendah, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.Fenomena kecil dari sikap tidak mencintai kebersihan dan berperilaku jujur tersebut membuktikan bahwa nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME belum terintegrasi secara utuh dalam setiap pembelajaran.
Upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran di kelas harus diawali dengan sikap adaptif guru terhadap dinamikan perkembangan siswa-siswanya.Perkembangan setiap siswa harus terisi oleh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan melalui proses pembelajaran oleh guru. Guru harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai imtaq kepada siswanya dalam setiap pembelajaran agar jiwa siswa tidak kering dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.Pengintegrasian nilai-nilai ketuhanan dalam setiap pembelajaran menjadi sangat penting untuk menancapkan tiang pancang konstruksi kepribadian siswa yang dalam dan kuat sehingga mampu menahan getaran, dorongan, dan tarikan dari dampak negatif globalisasi yang mengukur keberhasilan seseorang dari segi materi saja.
Dampak negatif era globalisasi dan informasi diharapkan tidak akan menggoyahkan kepribadian siswa karena dalam diri siswa selalu merasakan kehadiran Allah SWT dalam kehidupannya. Kedekatan siswa dengan Allah SWT dapat menyejukkan jiwanya sehingga perilakunya seharihari menjadi berakhlakul karimah.Upaya Pemerintah membangun kepribadian siswa yang tangguh tidak cukup hanya dengan menuliskan dalam setiap perubahan kurikulum bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa terhadap Tuhan YME.Peningkatan imtaq terhadap Tuhan YME juga tidak boleh hanya sebatas menulisnya dalam visi dan misi setiap sekolah yang unggul dalam prestasi dan luhur budi pekerti. Semua sekolah harus segera membuat action plan tentang pembelajaran bervisi Imtaq, melaksanakannya, dan mengevaluasinya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.Implementasi pendidikan Imtaq terhadap Tuhan YME juga membutuhkan konsistensi Pemerintah terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional dan regulasi bidang pendidikan yang jelas agar guru-guru mau dan mampu merealisasikannya dalam setiap mata pelajaran serta semua tingkatan dengan pembelajaran bervisi imtaq.Kemauan dan kemampuan guru mengintegrasikan nilai-nilai Imtaq siswa terhadap Tuhan YME memerlukan petunjuk pelaksanaan dan teknis dari Pemerintah yang simple dan mudah dipraktikkan di sekolah. Tindak lanjut dari proses dan hasil belajar bervisi imtaq adalah dengan evaluasi pembelajaran yang memprioritaskan aspek afektif.Pendidikan sebagai instrumen pemerintah untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus terus dipraktikkan oleh guru sebagai ujung tombak keberhasilan proses pendidikan.Proses pendidikan yang hanya bertahta di otak manusia dan kurang menghiraukan keadilan serta nilainilai ilahiyah akan menghasilkan generasi yang individualistis, materialistis, dan memisahkan otak dan hati. Tidak terintegrasinya otak dan hati dalam diri siswa akan melahirkan generasi sekuler yang cenderung memisahkan iptek dan agama.Perilaku sebagian siswa yang cenderung materialistis, individualis, dan memisahkan iptek dengan imtaq harus diantisipasi oleh semua guru dengan pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai Imtaq kepada Allah SWT.Penanaman nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dapat membasahi jiwa siswa agar menjadi orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlakul karimah sebagaimana yang terdapat dalam tujuan pendidikan nasional.Kurangnya pemahaman guru dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara utuh yaitu membentuk generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME sangat berpotensi melahirkan generasi yang berakhlak rendah.
Akhlak atau nilai-nilai hidup dapat diukur melalui ucapan, tatapan mata, dan gerakan indra yang lain sehingga tidak menjadi alasan bagi guru untuk tidak mengintegrasikan nilai-nilai imtaq dalam setiap pembelajaran. Jika dalam setiap pembelajaran, guru mau mengalokasikan waktu sekitar lima menit untuk mengisi jiwa siswa dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, insya Allah dapat membangun kepribadian siswa yang tangguh dan islami yang taat menjalankan perintah- perintah-Nya dan menjauhi larangan- larangan-Nya. 

1. He is not strong and powerful who throw the people down; but he is strong who keep himself from anger .
 - Orang yg kuat bukanlah orang yg mampu menjatuhkan/berkelahi dengan orang tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan amarahnya.